Sejarah
Kota Madinah
Muhammad
al-Gazhali dalam fiqh al-sirah membandingkan antara Makkah dan Madinah.
Makkah adalah kota yang mempunyai sejarah panjang, aman dan membawa berkah pada
penghuninya. Hal tersebut terjadi karena didukung kultur merkantilisme yang
dimiliki penduduknya serta Ka’bah yang merupakan symbol monoteisme.
Pada masa
pra-Islam, kota ini dikenal dengan nama Yastrib. Menurut Abdussalam Hasyim
Hafidz dalam al-Madinah fi al-Tarikh, nama Yastrib merujuk pada sebuah
peristiwa bersejarah pada masa nabi Nuh. Dikisahkan, ketika Tuhan menurunkan
azab melalui banjir, nabi Nuh bersama pengikutnya yang berada didalam perahu
terdampar ditempat ini. Namun, mereka tidak tinggal lama di Yastrib karena
memilih untuk tinggal di Juhfah.
Selanjutnya,
kota ini menjadi tempat Dinasti Amalekit yang berpusat di Mesir. Sebagian dari
Dinasti ini menempati Makkah dan Madinah. Namun, setelah Nabi Musa berhasil
mengalahkan Fira’un, beliau dan pengikutnya mulai berdatangan ketempat ini.
Sejak itulah, orang-orang Yahudi menempati kota ini untuk pertama kalinya. Jauh
sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi sudah menjadi pribumi di Yastrib,
khususnya kalangan Aws dan Khazraj yang merupakan kelompok mayoritas.
Sebelum Islam
masuk ke kota Madinah dan jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, seorang Yahudi
telah mencari-cari sesuatu tempat yang menurut perrhitungannya sebagai tempat
yang cocok yang akan dipilih oleh nabi yang akan diturunkan Tuhan kelak.
Menurut
perkiraan para ahli, kota ini telah dikenal sejak abad ke-6 SM. Sarjana Yunani
Ptomely menyebut kota ini Lathrippa, sedangkan Stefanus dari Byzantium
menyebutnya Jathripa, dan orang Yahudi yang terpengaruh kebudayaan Aramia menyebutnya Medinta.
Kata “Yastrib” berasal dari nama seorang keturunan Bani Ubail, yaitu Yastrib
bin Qaniyah bin Mikhail bin Aram bin Ubail bin Ush bin Aram bin Nuh. Sosok ini
juga diduga merupakan orang pertama yang datang ke daerah itu.
Masyarakat kota
Yastrib (Madinah) terdiri dari kelompok Arab (suku Aws dan suku Khazraj) dan
kelompok non-Arab (Bani Qainuqa, Bani Quraizah, dan Bani Nadzir). Antara suku
Aws dan suku Khazraj sering terjadi peperangan, begitu juga Bani Qainuqa, Bani
Quraizah, dan Bani Nadzir, ketiganya saling bermusuhan bahkan antara lima suku
tersebut juga saling bermusuhan.
Letak kota
Yastrib sangat strategis, yaitu dalam jalur perdagangan yang menghubungkan
Yaman di selatan dan Syria di utara. Tempat ini juga merupakan daerah yang
subur dan menjadi pusat pertanian di jazirah Arab. Oleh sebab itu,
masyarakatnya banyak yang bercocok tanam. Walaupun demikian, ada juga kelompok
masyarakat yang berdagang dan berternak.
Kota ini dibentengi oleh pegunungan batu yang terjal. Bentuk kota seperti ini
merupakan bentang pertahanan yang sangat bagus secara alamiah karena musuh
sulit masuk ke kota ini.
Sebelum
kedatangan Islam, masyarakat Yatsrib menganut agama Yahudi dan Nasrani. Selain
itu, sebagian masyarakat Yatsrib menganut agama Pagan, yaitu kepercayaan kepada
benda dan kekuatan alam, seperti matahari, bulan dan bintang. Para penganut
agama ini berkeyakinan bahwa mereka adalah manusia pilihan dan agama yang
dianutnya adalah yang paling benar. Keadaan ini memicu perselisihan antara
agama yang berlangsung cukup lama sampai masuknya Islam di kota ini.
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah
Kaum kafir
Quraisy tidak senang melihat Islam makin berkembang. Mereka terus menerus
memusuhi umat Islam dengan cara mengancam, menyiksa dan menghina. Melihat
keadaan itu, Nabi Muhammad SAW berpendapat bahwa Makkah tidak dapat lagi
diandalkan sebagai pusat dakwah Islam. Selanjutnya, Nabi perlu mencari tempat
lain sebagai pusat dakwah Islam.
Meskipun agama
Islam belum datang dan Nabi Muhammad SAW belum diutus menjadi Rasul tetapi
orang-orang Jazirah Arab telah terbiasa datang ke Makkah untuk menunaikan
ibadah. Begitu juga bagi penduduk Yastrib, maka pada suatu musim haji 6 orang
dari Yastrib datang menuanikan haji ke Makkah, Nabi menemui mereka dan
menceritakan penderitaan kaum muslim yang disiksa kaum Quraisy juga
memberitahukan kepada mereka tentang agama Islam.
Berita adanya
seorang nabi yang membawa agama Islam segera tersebar di kota Yastrib setelah
kepulangan 6 orang tersebut. Sebagian orang Yahudi bersuka cita menyambut
berita itu. Mereka sedang menanti kedatangan nabi terakhir seperti yang
diberitahukan dalam kitab suci mereka.
Pada tahun
ke-12 kenabian (624/621M) Nabi Muhammad menemui rombongan haji dari Yastrib
yang berjumlah 12 orang. Pertemuan itu terjadi dibukit Aqobah di kota Makkah.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan yang disebut Perjanjian Aqobah
yang berisi perrnyataan 12 orang tersebut bahwa mereka akan setia kepada Nabi
Muhammad SAW, rela berkorban harta dan jiwa, tidak menyekutukan Allah SWT,
tidak membunuh dan berdusta serta bersedia membantu menyebarkan ajaran Islam.
Pada tahun
ke-13 kenabian (622 M) sebanyak 73 jama’ah asal Yastrib datang ke kota Makkah
untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka membawa berita bahwa orang-orang Yastrib
memohon agar Nabi Muhammad SAW bersedia memberi penerangan tentang agama Islam.
Kemudian, mereka menyepakati perjanjian Aqabah kedua untuk menjamin keselamatan
dan kelanjutan dakwah Nabi Muhammad SAW. Dengan penuh pertimbangan dan didukung
berbagai factor, diantaranya Yastrib adalah tempat terdekat, penduduk Yastrib
dikenal memiliki kelembutan budi pekerti dan sifat yang baik, neneknya berasal
dari Yastrib dan ayahnya dimakamkan di Yastrib, maka Nabi memutuskan hijrah ke
Yastrib.
Pada suatu
malam Nabi keluar rumah menemui Abu Bakar untuk diajak melakukan hijrah ke
Madinah, sedangkan rumah Nabi sudah dikepung orang kafir Quraisy yang berniat
membunuh Nabi. Maka diaturlah siasat, yakni Ali ibn Abu Thalib diperintahkan
tidur ditempat tidur Nabi dengan memakai mantel Nabi yang hijau dari Hadramaut.
Di tengah perjalanan, mereka singgah untuk bersembunyi di gua Thur untuk
menghindarkan dari kejaran orang-orang kafir Quraisy. Setelah 3 hari di gua
Thur, perjalanan dilanjutkan. Dalam perjalanan ke Madinah, Nabi singgah di Quba
dan membangun masjid yang disebut masjid Quba.
Pelaksanaan
hijrah Nabi tersebut didorong oleh beberapa factor. Pertama, atas
perintah wahyu.
Kedua, disamping dakwah beliau di Makkah kurang berhasil, beliau ingin
menyelamatkan pengikutnya terbebas dari tindakan sewenang-wenang kaum kafir Quraisy
yang semakin keras dan kejam (suatu kebijakan yang mencerminkan sikap dan
tindakan seorang pemimpin). Ketiga, beliau yakin bahwa para pengikutnya
di Yastrib akan memberikan perlindungan kepada saudara-saudara seagama di
Makkah.
Pelaksanaan
hijrah tersebut, oleh Arnold dinilai sebagai “suatu gerakan strategi yang
jitu”. Suatu gerakan yang menyelamatkan kaum muslimin supaya terbebas dari
tindakan yang tidak manusiawi dari kaum Quraisy dan suatu gerakan dakwah menuju
babakan baru.
Dakwah Nabi Di Madinah
Sejak hijrah ke
Madinah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat selalu berdakwah kepada penduduk
Madinah tanpa mengenal lelah dan putus asa. Mereka terus berusaha menyebarkan
ajaran Islam kepada seluruh penduduk termasuk orang-orang Yahudi, Nasrani dan
kaum Pagan. Mayoritas penduduk Madinah, terutama suku Awz dan suku Khazraj
menyambut baik ajakan Nabi Muhammad SAW, menyatakan kesetiaannya kepada Nabi
dan bersedia membantu beliau menyebarkan ajaran Islam. Hal yang pertama
dilakukan Nabi dalam dakwahnya di Madinah adalah dengan membangun masjid, yang
terkenal dengan Masjid Nabawi.
Berdirinya
Masjid Nabawi ini merupakan tonggak berdirinya masyarakat Islam. Umat Islam
tidak takut lagi untuk melaksanakan shalat dan kegiatan-kegiatan keagamaan
lainnya. Masjid Nabawi menjadi ramai karena terus didatangi oleh para jama’ah
yang akan melaksanakan shalat berjama’ah bersama Nabi.
Nabi Muhammad
SAW beserta umat Islam juga membangun jembatan-jembatan yang menghubungkan
lembah yang satu dengan lembah lainnya. Pesatnya pembangunan di kota Madinah
menyebabkan adanya migrasi dari tempat lain. Masyarakat yang berada disekitar
wilayah Madinah berdatangan dengan tujuan berdagang atau tujuan lain. Keadaan
ini menyebabkan Madinah menjadi kota terbesar di Jazirah Arab.
Pada tahun
pertama di Yastrib, Nabi Muhammad membuat langkah awal mengurangi semangat ‘ashabiyyah
qabaliyyah melalui penetapan hubungan persaudaraan (muakkhah) antara
kaum Muhajirin dan Anshar. Maka Nabi Muhammad menyatakan Ali ibn Abi Thalib
sebagai saudaranya sendiri, meskipun sebenarnya saudara sepupu dekat. Kemudian
Hamzah ibn Abdul Mutthalib, pamannya, dipersaudarakan dengan Zaid ibn Haritsah,
bekas budaknya, Umar ibn Khattab dengan Itban ibn Malik al-Khazraji dan
Abdurrahman ibn Auf dengan Saad ibn al-Rabi. Hubungan persaudaraan itu
dinyatakan seperti persaudaraan sedarah senasib yang boleh saling waris
mewarisi, meskipun kemudian dihapus melalui penetapan hokum waris yang lebih
baru. Selain itu, kekuatan kaum Muslim yang baru terbentuk dan kemudian disebut
ummah wahidah.
System Politik Nabi Muhammad di Madinah
Sebagaimana
telah disebutkan diawal pembahasan, bahwa Madinah (Yastrib) sebelum kedatangan
Nabi Muhammad, masyarakat kota Madinah (Yastrib) adalah dari berbagai suku dan
agama, dan sering terjadi peperangan diantara masing-masing suku tersebut.
Terlebih pada dua suku utama yakni suku Awz dan Khazraj. Musthafa Kamil Washfi
dan Ali Husni al-Khurbuthuli mencatat ada 12 kali peperangan yang terjadi
antara suku Awz dan Khazraj,
yang kemudian berbagai suku di atas dikenal dengan kaum Anshor (penolong).
Hijrahnya Nabi
ke Madinah merupakan era baru dalam usaha dakwah Islam, karena dikota ini
beliau telah memdapat dukungan kuat dari warganya. Namun, dukungan tersebut
belum membuat posisi nabi benar-benar mantap. Karena, penduduk Madinah menurut
pembagian geneologi maupun etnis dan keyakinan terbagi kedalam beberapa
kelompok social yang saling berbeda cara fikir dan kepentingan. Untuk itu,
beliau membuat perjanjian tertulis yang dapat diterima oleh semua kelompok
social yang bercorak majemuk itu.
Dalam kaitan
ini al-Waqidi menulis bahwa ketika Nabi datang ke Madinah semua orang Yahudi
membuat perjanjian damai dengan beliau di mana mereka tidak akan mendukung
musuh yang menentang beliau.
Yang kemudian dikenal dengan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).
Masyarakat di
bawah pimpinan Nabi Muhammad SAWdi Madinah itu bisa disebut sebagai Negara dan
beliau sebagai kepala negaranya, sedangkan undang-undangnya adalah sebagian
perjanjian (Piagam Madinah) tersebut. Menurut para ahli, ada berbagai nama
perjanjian itu. Dari kesimpulan dari para ahli bahwa disebut “perjanjian”
karena Nabi membuat perjanjian persahabatan antara Muhajiri dan Anshar sebagai
komunitas Islam disatu pihak dan antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi serta
sekutu-sekutu mereka dipihak lain agar mereka terhindar dari pertentangan suku
serta bersama-sama mempertahankan keamanan kota Madinah dari serangan musuh
untuk hidup berdampingan secara damai sebagai inti dari persahabatan.
Mengacu pada piagam
Madinah, Nabi Muhammad melakukan konsolidasi
ke dalam dan menghimpun kekuatan masyarakat Madinah sebagai langkah membendung
hegemoni dan tekanan dari Makkah. Selama delapan bulan di Madinah, Nabi
Muhammad SAW mempersiapkan sejumlah ekspedisi militer skala kecil untuk
mencegat kafilah dagang Quraisy. Satuan-satuan bersenjata yang dikirim
kebeberapa tempat masih ditulangpunggungi oleh kaum Muhajirin kabilah Quraisy
dan belum melibatkan kabilah-kabilah Anshar, hingga menjelang perang Badar.
Menjelang perang
Badar, barulah pasukan bersenjata berkekuatan 305 orang yang bergerak ke luar
Madinah dan dipimpin sendiri oleh Nabi Muhammad SAW terdiri atas tiga komponen,
yaitu kaum Muhajiri Quraisy sebanyak 83 orang, kabilah al-Awz menyertakan 61
orang dan kabilah al-Khazraj menyumbang 161 orang. Komposisi keterwakilan
kabilah seperti ini adalah kelaziman bagi suatu koalisi besar antarkabilah di
kalangan orang Arab yang terus dipertahankan dalam pembentukan milisi
bersenjata kaum Muslim di Madinah.
Setelah peristiwa
perang Badar, konsolidasi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW berlangsung melalui
serangkaian perang. Peperangan paling menentukan antara lain terjadi pada
perang Uhud, Perang Ahzab (Khandaq), Penaklukan Makkah (Fath al-Makkah), hingga
Perang Tabuk sebagai operasi perang terakhir yang terjadi semasa hidup Nabi
Muhammad SAW. Melalui serangkaian peperangan ini, hirarki masyarakat Madinah
antara Muslim dan non-Muslim, yang dalam Piagam Madinah belum begitu jelas,
mulai diperteguh. Hanya kaum Muslim yang boleh bergabung dalam milisi
bersenjata Madinah melawan kekuatan luar yang ingin mengganggu kaum Muslim dan
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, sementara non-Muslim diharuskan membayar pajak
kepala (jizyah) sebagai pengganti kewajiban mereka memanggul senjata.
Setelah puncak
Tahun Delegasi berlalu, Madinah menjelma menjadi pusat chiefdom baru
yang menjangkau hamper semua kabilah Arab di semenanjung Arabia yang luas dan
dengan begitu sempurnalah posisi politik Nabi Muhammad SAW sebagai panglima
tertinggi masyarakat Arab lintas kabilah.
Ahmad Taqiyudin, Antara Makkah
& Madinah, PT Gelora Aksara Pratama, Jakarta 2009
Sejarah
Kebudayaan Islam, Kelas VII
semester Gasal, Pustaka Furqon,
Modul Pembelajaran Sejarah Kebudayan
Islam, Kelas VII MTs semester 1, Arafah
Mitra Utama.
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah (Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an), PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah
(Salah Paham Negara Islam), Pustaka Alvabet, Jakarta 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar